Cerita
Sex Romantis
Sebut saja namanya pertiwi. Pertiwi
tak bisa menolak ajakan teman yang ia sukai itu. Dua tahun sudah mereka saling
mengenal, sejak keduanya sama-sama duduk di bangku kelas satu. Dan perasaan
suka itu muncul di hati Pertiwi tak lama setelah pertemuan pertamanya. Kalau
tidak karena Muhris memberi sinyal yang sama, Pertiwi tentu sudah melupakan
perasaannya. Tapi cowok itu terus saja bersikap spesial kepadanya, hingga cinta
jarak jauh mereka terjalin erat meski tanpa kontak fisik.
Lalu tiga bulan yang lalu saat
menjelang Ujian Akhir Sekolah. Kelas pria dan wanita yang biasanya terpisah
mulai digabung di beberapa kesempatan karena alasan peningkatan intensitas
pelajaran. Siswa putra duduk di barisan depan, sedang yang putri di bagian
belakang. Tapi Muhris duduk di barisan putra paling belakang sedang Pertiwi di
barisan putri paling depan. Maka tak ayal Muhris berada tepat di depan Pertiwi.
Dan itulah awal kontak terdekat yang terjadi pada mereka. Biasalah… Awalnya
pura-pura pinjam alat tulis, tanya buku, ini… itu… Tapi senyuman makin sering
tertukar dan kontak batin terjalin dengan pasti. Kadang ada alasan bagi
keduanya untuk tidak keluar buru-buru saat istirahat, hingga ada masa singkat
ketika mereka hanya berdua di dalam kelas; tanya-tanya pelajaran—alasan basi
yang paling disukai setiap orang.
Dua bulan lebih dari cukup untuk
memupuk rasa cinta. Meski pacaran adalah terlarang, dan keduanya belum pernah
saling mengutarakan cinta, tapi semua teman mereka tahu keduanya adalah sepasang
kekasih. Hubungan cinta yang unik di jaman yang serba bebas ini. Dan Pertiwi
begitu menikmati perasaannya. Setiap waktu teramat berharga. Sekilas tatapan
serta seulas senyuman selalu menjadi bagian yang menyenangkan. Lalu cinta mulai
berkembang saat kenakalan muncul perlahan-lahan. Pertiwi sempat ragu saat
Muhris memintanya untuk datang ke Mall M sepulang sekolah sore itu. Sejuta
perasaan bahagia membuncah di hati Pertiwi, bercampur dengan rasa takut dan
kegugupan yang luar biasa. Ia nyaris pulang lagi saat sore itu ia berdiri di
pintu Mall untuk bertemu dengan Muhris. Tapi cowok itu keburu melihatnya hingga
ia tak dapat menghindar lagi. Ia tahu bahwa dirinya salah tingkah selama kencan
pertama mereka. Malamnya Pertiwi tak bisa tidur. Membayangkan tentang betapa
menyenangkannya kencan mereka, saat untuk pertama kalinya Muhris menggenggam
tangannya selama berkeliling melihat-lihat banyak hal. Seluruh tubuhnya terasa
panas dingin. Muhris bahkan membelikan sebuah hadiah berupa kalung mutiara yang
sangat mahal untuk ukuran dirinya. Untaian mutiara itu sangat indah, putih
memancarkan kilau yang terang. Cowok itu berkata, “Walaupun aku tak akan dapat
melihatmu mengenakan kalung itu, kuharap kamu mau tetap mengenakannya.” Dan
tentu saja ia senantiasa mengenakan kalung mutiara itu. Satu bulan itu dihiasi
dengan kencan sembunyi-sembunyi yang sangat mendebarkan. Seperti bermain
kucing-kucingan dengan semua orang yang Pertiwi kenal. Kalau ada satu saja
orang yang tahu Pertiwi berduaan dengan seorang pria di Mall, maka Pertiwi tak
dapat membayangkan petaka apa yang akan menimpanya. Tapi berhenti dari
melakukan itu ia yakini lebih mengerikan daripada terus menjalaninya. Karena,
di sore itu, di satu sudut yang sepi di dalam Mall, tiba-tiba saja Muhris
mencium pipinya dengan cepat tanpa mengatakan apapun juga. Hanya sekilas, dan
Muhris membuat seolah-olah itu tak pernah terjadi. Tapi pengaruhnya sangat
besar pada diri Pertiwi. Karena seluruh perasaannya bergemuruh dan membuncah.
Bercampur aduk hingga ia hanya bisa diam saja seperti orang bodoh. Sisa sore
itu berlalu tanpa ada dialog apapun, karena Pertiwi tahu wajah putihnya telah
berubah semerah udang rebus. Meninggalkan kesan terindah yang terbawa ke dalam
mimpi bermalam-malam sesudahnya.
Tiga hari sejak peristiwa itu Pertiwi
selalu berusaha menghindar dari Muhris. Ia merasa malu, bingung dan takut.
Bagaimanapun juga satu sisi perasaannya masih memiliki keyakinan bahwa cinta
mereka mulai melewati batas. Tapi ia belum tahu cara kerja nafsu. Karena ketika
akhirnya mereka bertemu kembali, Pertiwi tak bisa menolak saat di banyak
kesempatan Muhris mencium pipinya berkali-kali; kanan dan kiri. Bahkan, saat
Muhris semakin nakal dengan meremas tangannya, memeluk tubuhnya dan mencium
bibirnya (meski semua itu dilakukan Muhris tak lebih dari lima detik saja),
Pertiwi hanya terpana dan sangat menikmati semuanya. Sebelum berpisah, Muhris
berbisik pelan kepadanya, “Kamu mau, kan, main ke rumah esok sore?” Anehnya,
seperti seorang yang terhipnotis, Pertiwi mengangguk… Maka, sore itu, dengan
mengenakan gamis bercorak ceria khas remaja dengan hiasan renda bunga melati,
dipadukan dengan jilbab pink yang disemati bros berbentuk kupu-kupu, juga
sebuah tas jinjing dari kain kanvas, Pertiwi duduk di sofa ruang tamu di rumah
Muhris. Menunggu kekasihnya mengambilkan dua gelas jeruk dingin dan sepiring
buah-buahan segar. Matanya menatap ke sekeliling ruangan dan mendapatkan kesan
yang sangat menyenangkan. Kesan itu didapat, sebagian karena bagaimanapun ini
adalah rumah orang yang ia cintai, dan sebagiannya lagi karena pemiliknya
memiliki cukup banyak uang untuk menata dengan demikian indahnya. Pertiwi tak
tahu banyak soal dekorasi, tapi sesungguhnya rumah itu memang didesain dengan
nuansa klasik yang sesuai dengan alam pegunungan tempat rumah itu berdiri.
Perabotan, dari mulai lampu-lampu, tempat duduk, meja, lukisan-lukisan serta
berbagai hal didominasi oleh corak bambu dan kayu asli. Sementara dedaunan dan
tanaman hijau—bercampur antara imitasi dan buatan—menghiasi sudut-sudut yang
tepat. Air terjun buatan dibangun di samping ruang tamu, dengan cahaya matahari
yang hangat menyinari dari kaca jendela samping. Wilayah itu ditutup oleh kaca
bening yang dialiri air dari atas, sehingga mengesankan suasana hujan yang
indah dan menimbulkan bunyi gemericik air yang terdengar menyenangkan. Lukisan
pedesaan dipasang di satu sudut yang tepat bagi pandangan mata, dengan gaya
naturalis hingga setiap detail nampak sangat jelas. Seperti sebuah foto namun
memancarkan aura magis yang lebih kentara. Pertiwi sempat terpana dengan
semuanya, dengan kesejukan yang melingkupi seluruh dirinya, sampai ia tak sadar
kalau Muhris telah duduk di sebelahnya, sedang menata gelas dan piring-piring.
“Maaf, ya… Seadanya. Habisnya Umi lagi ke Bandung ikut seminar, nemenin Abi…”
Pertiwi tersipu malu. Ia berasal dari keluarga yang lebih sederhana, sehingga
rasa mindernya muncul saat mendapati rumah yang demikian besar dan mewah ini
ternyata milik pacarnya. “Nggak apa-apa, Ris. Pertiwi seneng, kok…” Pertiwi
merasakan suaranya tercekat di tenggorokan. Sore itu Pertiwi lalui dengan
sangat menyenangkan. Ngobrol berdua, bercanda, tertawa, nonton film, main game
PS hingga makan malam. Pertiwi baru tahu bahwa ternyata Muhris bisa memasak.
Pintar malah. Kelezatan rasanya melebihi masakan yang pernah ia buat. Dengan
malu ia mengakui itu di hadapan kekasihnya, yang membalasnya dengan ciuman pipi
kanan yang lembut. “Aku tetep cinta kamu, kok…” Perlu diketahui bahwa Pertiwi
saat itu berusia 16 tahun dan memiliki tubuh yang mulai matang sebagai seorang
gadis. Posturnya juga tinggi dengan wajah manis yang terkesan keibuan. Tapi
percayalah bahwa ia sangat polos, lebih polos dari gadis SD di kota besar yang
telah mahir urusan peluk dan cium.
Desa tempat ia tinggal sangat jauh
dari arus informasi dan pengaruh buruk ibukota. Maka ia tak menaruh prasangka
apapun saat Muhris mengajaknya menginap di rumahnya malam itu. Memang ini
urusan yang tabu di desanya, tapi kepolosan Pertiwi membuatnya yakin bahwa
Muhris tak akan melakukan hal buruk terhadapnya. Sehingga, pilihan berbohong ia
lakukan agar bisa berduaan terus dengan kekasihnya. Ia telah bilang pada orang
rumah bahwa ia akan menginap di rumah Ririn. Ia tahu orang tuanya tak akan
curiga, karena hal itu biasa ia lakukan di waktu-waktu ujian sekolah. Apalagi menjelang
Ujian Akhir seperti sekarang. Suasana malam sangat sunyi dan suara jengkerik
telah berganti dengan burung malam. Tak berapa lama rintik hujan mulai turun,
dan Pertiwi tak menyadarinya sampai hujan itu berubah jadi deras. Sangat deras,
karena di musim penghujan seperti ini hal seperti itu selalu saja terjadi.
Kalau tidak karena suasana cinta yang tengah meliputinya, Pertiwi tak akan
betah di rumah orang dalam situasi seperti itu.
O, iya… Sebetulnya Pertiwi dan
Muhris tidak benar-benar berdua di rumah, karena ada Hana, adik perempuan
Muhris yang sekarang duduk di bangku kelas 1 SMP. Makanya Pertiwi tidak terlalu
merasa sungkan, karena ia bisa bermain dengan Hana juga di sepanjang sore dan
malam itu. Muhrislah yang agak kerepotan karena harus meminta Hana agar
berjanji tidak memberitahukan keberadaan Pertiwi kepada orang tua mereka. Hana
sebetulnya tidak susah dibujuk. Hanya saja keberadaannya menyulitkan karena
ciuman-ciuman harus dilakukan secara hati-hati. Peluk dan cium beberapa waktu
yang lalu memang mendapatkan perlawanan (meski setengah hati) dari Pertiwi.
Tapi hal itu tak berlaku malam ini, karena kini Pertiwi merasa lebih santai dan
bebas. Di satu kesempatan Muhris memeluknya sembari mencium bibirnya sekilas.
Di kesempatan lain ia dipeluk dari belakang, tepatnya saat ia mencuci piring
bekas makan malam dan pria itu mengendap-endap dari belakang dan begitu saja
melingkarkan tangan di pinggangnya. Pertiwi sempat menjerit pelan dan berusaha
meronta, tapi tangannya yang memegang piring dipenuhi busa sabun hingga susah
untuk bergerak. Ia hanya menggelinjang pelan dan merengek lemah, saat pelukan
itu makin erat dan ciuman di pipinya membuatnya terbius. Hampir saja Hana
melihat perbuatan mereka, kalau Muhris tidak buru-buru melepaskan pelukan di
pinggang yang ramping itu. Setelah mandi malam yang menyenangkan, di dalam
bath-tub air hangat yang penuh busa dan peralatan mandi yang lengkap milik Umi
Muhris, Pertiwi bergabung dengan kakak beradik di ruang TV. Ia mengenakan
busana malam yang lebih santai (setidaknya untuk ukuran gadis berjilbab);
kemeja kaus lengan panjang putih bermotif garis warna biru dengan bawahan rok
katun berwarna biru lembut, dipadukan jilbab simpel berwarna biru senada.
Parfum aroma bunga khas remaja ia seprotkan di tempat-tempat yang tepat untuk
menyegarkan dirinya. Lalu ia duduk di samping Hana yang sedang tertawa
menyaksikan film kartun di televisi. Mata Pertiwi saat itu tertuju penuh ke
televisi, namun pikirannya terbang ke alam tertinggi yang penuh imajinasi.
Pelukan dan ciuman hangat dari Muhris mau tak mau membangkitkan gairah
terpendam yang selama ini tersembuyi jauh di dasar jiwanya. Ia mengalami
semacam sensasi aneh yang baru dikenalnya, yang sangat memabukkan dan
membuatnya lupa diri. Jam baru pukul delapan malam namun kegelisahannya telah
memuncak. Pertiwi tak tahu—atau mungkin tak berani mengakui—bahwa dirinya telah
dipenuhi sensasi seks yang menyenangkan. Terlebih ini adalah masa-masa
suburnya. Letupan-letupan kecil yang dipicu oleh Muhris membuatnya
perlahan-lahan tebawa ke arus deras, hingga sulit terbendung oleh keremajaannya
yang sedang membara. Penghalang dirinya untuk melakukan hal-hal yang lebih
seronok adalah rasa malu, takut serta ketidaktahuan yang besar tentang
kondisi-kondisi semacam ini. Tapi pancingan-pancingan yang dilakukan oleh
Muhris dengan lihai membawanya pada pengalaman-pengalaman terlarang yang sangat
menggairahkan. Semuanya akibat kepolosan sang gadis remaja.
Jam delapan lewat dua puluh menit
Muhris bangkit dari duduknya dan menarik tangan Pertiwi agar mengikutinya. Hana
tak sadar karena ia terfokus pada acara televisi. Pertiwi menurut dan dadanya
berdebar kencang saat Muhris menariknya ke lantai dua. Kalau Pertiwi sedikit
lebih gaul, ia akan tahu Muhris bermaksud melakukan sesuatu, tapi Pertiwi jauh
lebih polos dari yang orang kira, hingga ia justru merasa senang saat Muhris
mengajaknya untuk melihat-lihat kamarnya. Ia senang bisa tahu isi dalam kamar
kekasih yang ia cintai. Pertiwi kagum pada suasana kamar Muhris yang
menyenangkan. Ia juga terkejut saat menemukan foto dirinya dalam pose separuh
badan terpampang di dinding kamar. Foto itu ditutupi Muhris oleh poster pemain
bola, hingga tidak ada yang tahu bila setiap malam ia menarik poster itu dan
memandangi foto gadis yang tersenyum manis di sana. Pertiwi setengah lupa
tentang kapan ia membuat foto itu. Ia merasa foto itu lebih cantik dari
aslinya. Tapi Muhris menjelaskan bahwa program komputer photoshop dapat
melakukan banyak hal, seperti membuat gadis secantik dirinya terlihat lebih
segar dan mempesona. Pertiwi tersipu malu. Tapi itu belum seberapa, karena
tiba-tiba Muhris menarik dirinya agar berhadapan, lalu mengeluarkan sepasang
anting mutiara dari kotak beludru di saku celananya. Pertiwi terperanjat.
Muhris berbisik mesra, “Ini pasangan kalung yang pernah kuberikan. Aku mau kamu
mengenakannya…” Mata Pertiwi berkaca-kaca. Kalau saja ia berani, ia sudah
memeluk pria di hadapannya dan menciumnya bertubi-tubi. Tapi ia terlalu malu
untuk melakukan hal semacam itu. Ia hanya salah tingkah, saat Muhris meletakkan
anting-anting itu di telapak tangannya dan berkata lagi, “Aku pasangkan
sekarang, ya…” “Tapi…” Suara Pertiwi serak dan lirih. “Tapi kenapa?” “Pertiwi
malu…” “Kok malu? Bukankah kita saling mencintai?! Masihkah kita saling
tertutup?” Pertiwi bingung untuk menjawab, karena ini adalah momen pertama
dalam hidupnya ketika ia harus membuka jilbabnya di hadapan seorang laki-laki.
Wanita-wanita yang biasa berbikini di kolam renang atau berpakaian seksi di
Mall-mall tentu tak akan paham kenyataan ini. Tapi Pertiwi adalah perempuan
yang sejak belasan tahun lalu selalu menutup seluruh bagian tubuhnya dan tak
memamerkannya pada siapapun kecuali keluarganya. Melepas jilbab baginya sama
seperti melepas rok di depan kamera bagi gadis keumuman. Aneh? Memang! Tapi itulah
kenyataannya. Ia setengah menangis saat tak kuasa menolak permintaan Muhris
yang menyudutkan itu. Ia memang diam. Tapi dadanya bergemuruh hebat saat jemari
Muhris melepasi jarum dan peniti yang menyemati jilbabnya. Ia tertunduk dalam
dan menahan nafas saat tangan kekasihnya menarik lepas jilbabnya. Tangannya
yang gemetar meremas-remas ujung kaus, dan tanpa sadar ia menggigit bibirnya
sendiri saat Muhris menarik dagunya agar mereka bisa saling bertatapan serta
membelai rambutnya dengan mesra; rambut yang hitam lurus sepanjang bahunya.
“Kamu cantik sekali, Pertiwi…” Suara itu terdengar lirih, dan Pertiwi hanya
terpejam menahan semua perasaannya. Itu adalah ekspresi terbodoh yang pernah ia
lakukan, atau justru yang terbaik, karena semuanya mendorong Muhris untuk
mengecup bibirnya dengan lembut. Ciuman hangat dan penuh cinta, membawa Pertiwi
terbang tinggi dan melupakan dunia ini. “Mmmh…” Pertiwi hanya terpejam pasrah.
Tubuhnya gemetar hebat. Tapi mulutnya terbuka lebar saat lidah Muhris mulai
menjulur dan menggelitiki rongga mulutnya. Lidahnya ikut bergerak meski masih
sangat kaku, saling menggelitiki untuk mendapatkan sensasi aneh yang sempurna.
Tangannya begitu saja memeluk lengan Muhris yang kokoh, yang saat itu tengah
melingkarkannya di pinggangnya sendiri. Waktu seakan berhenti. Dan keduanya
terpaku seperti sepasang patung sihir. Hanya helaan nafas yang terdengar di
sela-sela ciuman membara dan dipenuhi gelora cinta. Kedua tubuh itu merapat dan
saling bergesekan, seakan tak dapat terpisahkan. Saling memberikan rasa hangat
yang aneh dan membangkitkan seluruh saraf yang tertidur. Keduanya baru berhenti
ketika nafas mulai habis dan terengah-engah kelelahan. Pertiwi kaget dan merasa
malu sekali. Mulutnya basah akibat ciuman panas itu. Tapi ia tak dapat berbuat
apa-apa selain menanti yang terjadi selanjutnya. Ia membiarkan Muhris memasang
anting-anting di kedua telinganya. Ia menahan rasa geli saat jari jemari Muhris
seakan menggelitik kedua telinganya, dan menurut saja ketika pria itu
menuntunya ke hadapan cermin besar. “Lihat… Kamu cantik sekali..” Pertiwi
melihat sekilas ke cermin, menyaksikan dirinya sendiri tanpa jilbab, dengan
dihiasi anting-anting dan kalung mutiara dari kekasihnya. Ia merengek manja dan
menutup muka dengan telapak tangannya. “Aah… Muhris jahat… Pertiwi malu…” “Malu
sama siapa?” Mereka bercanda dengan mesra dan lebih hangat. Ciuman tadi telah
menyingkapkan tabir kekakuan yang telah terbentuk selama ini. Mereka kini lebih
mirip sepasang kekasih, dengan pelukan dan ciuman hangat yang sarat nuansa
cinta. Pagi itu adalah pagi terindah bagi Pertiwi. Menghidangkan sarapan di
meja makan untuk Muhris membuatnya merasa seperti seorang istri yang melayani
suaminya.
Muhris dan adiknya sangat puas
dengan masakannya. Canda tawa menghiasi makan pagi mereka yang berlangsung
dengan santai. Seusai makan Hana langsung berangkat sekolah, meninggalkan
sepasang sejoli yang dimabuk asmara itu tanpa kecurigaan apapun. Membiarkan
keduanya menikmati hari dalam kemesraannya. Tapi, kalau kamu berpikir malam itu
keduanya melakukan hubungan-hubungan khusus suami istri, percayalah bahwa kamu
salah besar. Mereka masih terlalu penakut untuk melakukan hubungan yang lebih
jauh. Meskipun ciuman mereka semakin panas, aktivitas lain masih terhitung
sopan karena tangan Muhris tak pernah bergerilya seperti tangan para
professional. Masih tetap pelukan sopan yang tak melibatkan rabaan ataupun
sentuhan lain. Keduanya tidur terpisah dan tak ada aktivitas nakal di malam
hari. Pertiwi pulang dari rumah Muhris sekitar pukul sepuluh pagi, setelah
banyak ciuman tambahan sehabis sarapan dan mandi pagi. Kepada orang rumah ia
bilang sekolah pulang cepat. Seharian ia lebih banyak mengunci diri dalam
kamarnya, menikmati sensasi imajinasi yang semakin liar dibanding waktu
sebelumnya.
Pertemuan selanjutnya ternyata lebih
lama dari yang diduga. Keduanya benar-benar tersibukkan oleh tugas-tugas
sekolah, hingga baru bertemu lagi (untuk berduaan tentunya) dua minggu
setelahnya. Keluarga Muhris berlibur ke rumah nenek di luar kota. Alasan ujian
membuat Muhris bisa menghindar dari paksaan orang tuanya, sehingga rumahnya
bebas selama satu minggu penuh. Itulah saat yang tepat untuk bermesraan dengan
Pertiwi, dan ia telah menyiapkan banyak hal untuk pekan yang istimewa itu.
Pertiwi datang pagi hari itu dengan mengenakan seragam sekolahnya. Perpisahan
yang cukup lama ternyata membuat gadis itu lebih agresif, sehingga, meskipun
tetap Muhris yang harus memulainya, Pertiwi memberikan balasan yang sedikit
liar dan nakal. Muhris sampai megap-megap kewalahan. Sesudahnya mereka
tertawa-tawa sambil berpelukan di atas sofa, sembari mata mereka menatap layar
TV tanpa bermaksud menontonnya. Sekitar menjelang siang Pertiwi dibonceng
Muhris untuk main ke Mall M. Setelah itu dilanjutkan ke taman L dan bermain
sepeda air di sana. Mereka juga melakukan banyak hal yang menyenangkan, yang
membuat mereka lupa waktu. Hari telah senja ketika keduanya memutuskan untuk
pulang, saat langit berubah gelap dan tiba-tiba saja menjadi hujan yang sangat
deras sebelum keduanya tiba di rumah. Tak sampai lima menit ketika keduanya
berubah basah kuyup, dan Pertiwi telah menggigil kedinginan saat perjalanan
belum mencapai setengahnya.
Keduanya tiba di rumah saat
menjelang makan malam. Oleh-oleh yang mereka beli di jalan telah basah kuyup
dan tak ada satu bagianpun yang kering dari diri mereka. Tubuh Pertiwi
menggigil hebat dan wajahnya pusat pasi. Bibirnya agak membiru. Muhris bergegas
membawa gadis itu ke dalam rumah dan menyiapkan air panas di bath-tub kamar
atas. Sementara menunggu gadis itu mandi, ia menyiapkan dua gelas susu coklat
panas dan sekaleng biskuit kacang. Ia sendiri langsung mandi setelah itu, dan
keduanya selesai setengah jam kemudian. Pertiwi baru sadar bahwa ia tidak
memiliki pakaian ganti, dan kebingungan sampai mengurung diri di kamar mandi.
Muhris berusaha meminjamkan pakaian ibunya, tapi pakaian bersih ibunya terkunci
dalam lemari. Sementara itu pakaian Hana juga tak muat dan terlalu kecil.
Untunglah Muhris ingat bahwa di kamar tamu ada pakaian-pakaian saudara
sepupunya, yang biasa disimpan di sana untuk dipakai jika menginap di rumah
Muhris. “Tapi… Sepupuku tidak berjilbab. Jadi pakaiannya agak… Kamu coba aja
deh cari yang pas. Aku tunggu di ruang TV…” Pertiwi kebingungan sendiri di
kamar tamu itu. Ia agak risih karena semua pakaian di dalam lemari itu adalah
pakaian-pakaian yang gaul, serba ketat dan serba minim. Cukup lama ia memilih
dan tidak menemukan juga pakaian yang cocok untuk dirinya, sehingga ia memilih
pakaian yang menurutnya agak paling sopan. Tapi tetap saja serba minim. Dengan
malu ia mengenakan pakaian pilihannya dan menghampiri kekasihnya di ruang TV.
Wajah Muhris berubah kaget dan matanya bergerak kesana-kemari; mata yang biasa
Pertiwi temukan pada pria-pria nakal di pinggir jalan. Tapi Pertiwi tahu semua
ini karena dirinya, dan setengah menangis ia berusaha menutupi keterbukaan
dirinya dengan kedua tangan. Bagaimana tidak?! Inilah pertama kalinya seumur
hidup ia mengenakan pakaian minim di hadapan seorang pria, meskipun itu adalah
kekasihnya juga. Sepupu Muhris bertubuh lebih pendek dan kecil dari dirinya,
sehingga kaus pink tipis bergambar Barbie yang ia kenakan benar-benar melekat
ketat di tubuhnya, menampakkan lekuk-lekuk yang nyata dan mempesona. Bahkan
bagian pusarnya tidak betul-betul tertutupi, meskipun berkali-kali ia berusaha
menarik kaus itu ke bawah. Sementara itu, celana hijau lumut selututnya juga
sama ketatnya, dan tidak benar-benar selutut, karena tubuh Pertiwi yang tinggi.
Pertiwi sebetulnya memiliki kulit yang putih bersih dan lekuk yang indah, sehingga
ia nampak cantik menawan dengan pakaian seksi itu. Terlebih rambut panjangnya
masih setengah basah, menciptakan sedikit gelombang yang menambah aura
kecantikannya. Tapi Pertiwi tak terbiasa dengan hal-hal seperti itu, hingga ia
merasa dirinya buruk dan norak. Ia takut Muhris meledeknya, serta jengah dengan
keterbukaannya sendiri. “Kamu cantik sekali, Pertiwi…” Suara Muhris terdengar
bergetar, dan Pertiwi merinding ketika pria itu malah mendekatinya dan berusaha
memeluknya. Ia berusaha menghindar dan tangannya menolak pelukan Muhris.
“Pertiwi malu… Jangan, Muhris… Jangan…” “Lho… Kenapa?” Pertiwi hanya menggeleng
dan Muhris berusaha menghormatinya. Mereka menghabiskan malam dengan menonton
TV dan menghabiskan susu hangat di meja. Namun Pertiwi agak lebih pendiam dan
gelisah. Tangannya terus-terusan memeluk bantal besar, berusaha menutupi apa
yang ada di baliknya. Ia tak tahu bahwa pria di sebelahnya lebih gelisah lagi,
meski alasannya sedikit berbeda. Ia terlalu sibuk oleh pikirannya sendiri
hingga tak sadar bahwa mata Muhris terus menelusuri dirinya, seolah berusaha
menelanjangi.
Awalnya Pertiwi tak sadar pada
sentuhan itu. Berkali-kali Muhris mencium pipinya, tapi ia menganggap wajar hal
tersebut. Itu hal yang biasa mereka lakukan, dan Pertiwi menganggapnya sebagai
sun sayang yang biasa ia dapatkan. Tapi Muhris kini telah melingkarkan tangan
kiri melalui sandaran sofa dan mendarat di bahunya. Sedang tangan kanan
diletakkan di atas lutut Pertiwi yang terbuka. Cuaca memang sangat dingin
akibat hujan yang tidak juga berhenti, hingga elusan di lututnya terasa nyaman
dan menghangatkan, membuat Pertiwi setengah tak sadar ketika elusan itu makin
merambat ke atas pahanya yang sedikit tersingkap. Pertiwi sangat suka nonton
sinetron dan tayangan di TV adalah sinetron favoritnya. Adegan dan kata-kata
romantis di layar kaca seperti memberi hipnotis tersendiri. Adegan ciuman
memang disensor, tapi hal itu justru membuatnya tak kuasa menolak saat ciuman
Muhris beralih ke bibir basahnya. Untunglah saat itu sedang iklan, hingga
ciuman dari Muhris dapat diterima oleh Pertiwi sepenuhnya, yang baru sadar
bahwa posisi duduk kekasihnya sangat mengintimidasi dirinya. Tapi ciuman itu
begitu manis dan menyenangkan, memunculkan rasa hangat yang menggelora yang
sangat ia rindukan. Tak perlu menunggu lama untuk membangitkan hasrat gadis
itu.
Pengalaman telah mengajarkan banyak
hal kepadanya, sehingga lidahnya langsung menyambut saat Muhris mulai
mengajaknya bermain-main. Bibir Pertiwi termasuk agak tipis, merah dan masih
alami. Namun lidahnya lincah dan pandai bergerak. Dengan daya dukung kecerdasan
di atas rata-rata, ia menjadi gadis yang cepat belajar dan tahu bagaimana cara
memuaskan lawan mainnya. Muhris sendiri sangat kaget dengan kecepatan Pertiwi
dalam mempelajari teknik-tekik baru, hingga di akhir pertandingan lidah mereka,
ia membiarkan sang gadis mengalahkannya hingga pipi gadis itu merona akibat
agresivitasnya sendiri. Ketika berciuman Pertiwi lupa pada apapun. Tapi setelah
selesai ia baru sadar bahwa sejak tadi tangan kanan Muhris terus-terusan
membelai-belai pahanya, bergantian antara kanan dan kiri. Kini ia benar-benar
merasakan rangsangan itu, rangsangan yang lebih terkesan dewasa dibanding
sekedar ciuman bibir. Tangannya bertindak cepat, mencegah Muhris sesaat sebelum
tangan kekasihnya itu menyentuh bagian pangkal pahanya. Mulut mereka terdiam
dan hanya mata yang berbicara. Muhris meminta, Pertiwi menolak halus. Tangan
Muhris bergerak lagi, tapi Pertiwi mencegah lagi. Muhris tersenyum manis.
“Maaf, ya… Aku kelewatan…” Pertiwi ikut tersenyum. “Lebih baik kita dengar
musik aja, ya! Kita berdansa. Seperti di film.” Pertiwi diam menunggu dan manut
saja pada apa yang diinginkan kekasihnya. Suara lembut mengalun dari player,
dan tangan Muhris menjulur padanya. Pertiwi grogi karena ia belum pernah
berdansa sebelumnya. Muhris meyakinkan bahwa ia sama tidak tahunya seperti
Pertiwi. Jadi tak usah malu karena mereka hanya berdua di sini. Dengan
langkah-langkah kaku tubuh mereka bergerak pelan, saling berpelukan. Keduanya
tertawa pada gerakan masing-masing, tapi tetap merasa senang karena ciuman
dimulai lagi beberapa saat sesudahnya. Tubuh Pertiwi hampir sama tingginya
dengan Muhris, hingga ia tak perlu berjinjit untuk menyambut pagutan pria itu.
Ia tak tahu bahwa kecantikannya makin memesona diri Muhris dan keremajaannya
terus memancing-mancing gairah. Belum lagi aroma parfum menebar dari seluruh
tubuhnya. Tangan Muhris tak tahan untuk tidak mengelus-elus tubuh bagusnya,
bergerak dari pinggang ke arah atas. Pertiwi masih setengah menganggap elusan
itu adalah bagian dari gerakan berdansa. Ciuman bibir Muhris membuat tubuhnya
lemas, hingga elusan itu ia nikmati saja seperti halnya ciuman di bibirnya.
Terasa geli saat menyentuh bagian samping dadanya.“Mmmh… Mmhhh…” Elusan tangan
Muhris makin mengarah ke dada Pertiwi, membelai-belai benda yang lunak dan
empuk itu. Gadis itu mengejang karena rasa aneh yang melandanya. Itu adalah
sentuhan pertamanya, dan ia masih sangat sensitif. Tangannya secara refleks
berusaha mencegah, tapi Muhris yang tak mau gagal lagi berusaha menahan Pertiwi
agar tetap diam. Ciumannya makin liar hingga Pertiwi tak bisa mengelak. Remasan
di dadanya terasa makin nyata, membuat Pertiwi terengah-engah akibat rangsangan
hebat di tubuhnya. Ia tak kuasa mencegah remasan itu, karena bagaimanapun
dirinya ternyata menikmatinya. Keduanya terengah-engah akibat ciuman yang
panjang itu. Sedang muka Pertiwi makin memerah, karena ia benar-benar
terangsang oleh remasan tangan Muhris di dadanya. Payudaranya yang berisi
membuat genggaman Muhris terasa penuh.
Ia membiarkan dirinya terdesak ke
dinding, hingga ia tidak sampai merosot jatuh saat remasan tangan Muhris makin
lincah dan mempermainkan puncaknya yang masih tertutup kaus. Ia hanya mendongak
setengah terpejam dan tangannya yang bingung merapat ketat di tembok. Ia makin
belingsatan karena di saat yang bersamaan ciuman Muhris mendarat di dagu dan
lehernya bertubi-tubi. Lehernya cukup panjang dan jenjang, hingga kepala Muhris
dapat terbenam di sana dan memagut-magutnya seperti ular. Pertiwi merasakan air
mata mengalir lewat sudut matanya. Ia sangat kebingungan mengenali perasaannya
saat ini. Remasan tangan kanan Muhris berganti menjadi ciuman bibir. Ia sempat
menunduk dan hanya melihat rambut kekasihnya. Kepala Muhris terbenam di buah
dadanya yang telah mengeras kencang, dan Pertiwi dapat mendengar
kecipak-kecipuk saat Muhris melahap dadanya itu dengan sedikit buas. “Muhris…
Muhris… Ohhh. Apa yang kamu lakukan sama Pertiwiaa… Mmhhh… Jangan, Ris… Aahh…”
Muhris telah menggulung kaus ketatnya ke arah atas, berusaha menyingkapkannya
agar buah dada itu lebih leluasa dinikmati. Lelaki itu terus meremas-remas
dengan lembut dan penuh perasaan. Menjepit dan mempermainkan putting susunya
yang masih tertutup BH tipis berwarna krem. Mungkin Muhris merasa gemas
mendapati payudara yang demikian empuk dan kenyal itu, payudara perawan yang
masih sangat sensitif dari sentuhan. Keadaan Pertiwi kini sungguh mengenaskan.
Kekasihnya menyerangnya di berbagai tempat, mempermainkan dirinya seperti
sebuah boneka. Bibir dan tangan kiri di payudaranya, tangan kanan di sela-sela
pahanya. Semuanya adalah sensasi yang baru pertama kali ia rasakan. Dulu ketika
ia belum pernah mengalaminya, ia selalu berjanji bahwa ia hanya akan melakukan
ini dengan suaminya di atas ranjang pernikahan. Dulu ketika hal ini tak pernah
terbersit dalam benaknya, ia sangat yakin mampu menjaga kehormatannya. Tapi
kini ketika benar-benar mengalaminya, ia tak tahu apakah ia akan tetap sekuat
itu. Sentuhan-sentuhan ini terlalu melenakan dirinya, dan membangunkan perasaan
rindunya yang telah lama terpendam. Ia sangat bingung hingga hanya mampu
meneteskan air mata dan meremas remas rambut Muhris. “Aku sayang kamu, Pertiwi…
Mmmh… Aku sayang kamu…” Terdengar rayuan Muhris di sela-sela kesibukannya.
Pertiwi hanya mampu menjawabnya dengan erangan-erangan aneh, karena saat itu
tangan kanan Muhris telah menembus langsung ke pangkal pahanya. Jari jemari
pria itu menggosok-gosok dan mempermainkan di tempat yang paling sensitif,
hingga Pertiwi merasakan celananya basah oleh cairan yang tak ia kenal
sebelumnya. Memang sentuhan tersebut bukanlah sentuhan langsung karena tubuh
Pertiwi masih tertutup CD tipis dan celana ketatnya. Tapi ini adalah sentuhan
pertamanya, dan semuanya sudah lebih dari cukup untuk membangkitkan rangsangan
dahsyat itu. Apalagi setelah beberapa lama Muhris tidak juga menghentikan
aktivitasnya, melainkan menggesek-gesek dengan lebih liar.
Kemaluannya terasa seperti
diaduk-aduk, hingga makin lama ia makin merasakan desakan yang aneh sangat
sulit ia pahami. Ia tak dapat menahan perasaannya. Ia terus mengerang…
mengerang… hingga desakan itu makin menuju ke arah puncak… Ia tak sanggup
bertahan lagi… “Aaahh… Aaahh… Akhhhhh….” Pertiwi menjerit panjang saat orgasme
melanda tubuhnya untuk pertama kalinya. Tubuhnya mengejang kuat, melengkung
seperti busur. Kakinya merapat menjepit tangan Muhris yang tak juga berhenti
bergerak. Ia merasakan letupan-letupan dahsyat seperti sebuah terpaan badai.
Dunia dipenuhi warna yang berpadu dengan indahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar